Bilik Kata

Berbagi lewat bahasa, sastra, dan budaya


Tinggalkan komentar

De Mangol

Ini adalah sebuah tempat makan sekaligus tempat rekreasi atau tempat rekreasi sekaligus tempat makan? Dua-duanya benar. Di tempat ini kita bisa bersantai bersama keluarga atau teman-teman, bisa berswafoto sepuasnya dengan beragam spot foto yang menarik, sekaligus bisa makan-makan dengan berbagai menu yang disediakan. Tempat wisata yang terletak di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini menyediakan berbagai spot foto yang menarik, salah satu di antaranya adalah teras kaca. Selain kita bisa menikmati kecantikan spot-spot foto yang disediakan, kita juga bisa mengelilingi taman yang cukup luas, bisa juga melihat Gunung Merapi di kejauhan dan keindahan Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Harga tiket masuknya cukup terjangkau. Per 8 Januari 2022 (saat penulis ke sana), harga tiket masuk untuk hari libur Rp20.000,00 per orang. Bila berombongan, misalnya rombongan siswa atau guru akan diberikan potongan harga. Tentu ketentuan ini sewaktu-waktu bisa berubah. Uniknya, selain restoran utama dengan berbagai menu modern, ada juga kedai di situ yang menyediakan nasi kucing. Meong, meong. (Y. Niken Sasanti)


Tinggalkan komentar

Teras Merapi

Teman-teman ingin mencari destinasi wisata yang baru di sekitar lereng Merapi? Mungkin, Teras Merapi menjadi salah satu alternatif yang bisa dikunjungi. Objek wisata yang terletak di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan salah satu jendela untuk melihat keindahan Gunung Merapi.

Tempat itu tidak terlalu jauh dari Yogyakarta dan dapat ditempuh dengan mobil, motor, bahkan sepeda. Teman-teman yang hobi bersepeda bisa gowes sampai ke sana, berolahraga sambil menikmati pemandangan yang indah. Di tempat itu, kita tidak hanya bisa melihat pemandangan yang indah (seperti lazimnya di tempat-tempat wisata yang lain), namun juga bisa berenang, bermain, hiking, bersepeda, maupun berkemah. Tersedia area yang cukup luas andai keluarga mau mendirikan tenda dan piknik di sana.

Bila cuaca cerah, kita bisa melihat keindahan Gunung Merapi secara jelas. Kita juga bisa melihat alam nan hijau. Dari ketinggian itu, kita juga bisa melihat Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tempat ini sangat cocok untuk wisata keluarga yang ingin kembali ke alam. (Y. Niken Sasanti)


Tinggalkan komentar

Air Terjun Sri Gethuk

Teman-teman yang tinggal di area Daerah istimewa Yogyakarta tentu sudah tidak asing lagi dengan tempat wisata yang satu ini, yaitu Air Terjun Sri Gethuk. Tempat wisata yang terletak di Kecamatan Playen Gunung Kidul ini banyak dikunjungi wisatawan karena keindahannya. Tempatnya terjangkau, tidak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta dan jalan menuju ke sana cukup mulus.

Dari lokasi parkir kendaraan kita masih harus berjalan menurun beberapa ratus meter ke dermaga kecil di tepi Sungai Oya. Namun jangan khawatir, sudah ada anak tangga yang bisa kita susuri jadi kita tidak kesulitan mencapai dermaga tersebut. Lalu kita naik perahu dengan tiket yang cukup murah untuk menuju air terjun. Pemandangan yang kita lihat sungguh elok dengan warna hijau yang dominan, berpadu dengan birunya langit yang menawan. Saya lantas berimajinasi, seakan saya berada di negeri para hobit seperti yang digambarkan di novel-novel J.R.R. Tolkien. Hutan dan sungai dengan penghuninya yang penuh misteri. Barangkali saja hujan itu bisa bercerita, pohon-pohonnya hidup dan berbicara. (Ah, saya terlalu banyak berimajinasi).

Singkat cerita sampailah kita ke air terjun yang sungguh indah. Di antara kehijauan hutan dan air sungai, ada air yang memancar dengan indahnya dari atas bukit. Benar-benar lukisan alam yang menyimpan segala keagungan Sang Pencipta. Para pengunjung biasanya menceburkan diri di genangan air di bawah air terjun itu. Yang tidak ingin berbasah-basah bisa berswafoto di sekitarnya. Rasanya betah berlama-lama di situ kalau saja kita tidak terpenjara oleh waktu. Bila pengunjung merasa haus dan lapar, di sekitar jalan menuju dermaga juga ada warung-warung yang menyajikan makanan dan minuman. Ada gorengan tahu isi, bakwan, tempe kemul, pisang, ada juga teh, kopi, dan kelapa muda. Oleh-oleh untuk dibawa pulang juga ada, makanan-makanan asli Gunung Kidul yang terbuat dari singkong banyak tersedia. (Y. Niken Sasanti)


Tinggalkan komentar

Pariboro

Kemarin kami makan siang di sebuah rumah makan di Boro. Rumah makan itu menyajikan berbagai makanan rumahan khas desa yang bisa kita ambil sendiri di dapur. Ada nasi putih dengan bermacam sayur yang bisa kita pilih, antara lain oseng daun pepaya, oseng pare, oseng buncis tahu, sayur daun lumbu, kering tempe, oseng soun, pecel, dan masih banyak lagi yang lain. Lauknya juga bermacam-macam antara lain dadar krispi, ayam goreng, lele goreng, dan gereh. Kalau mau tambahan

kudapan ada geblek, tempe benguk, mendoan, pisang goreng, dll. Minumannya lebih dari 20 macam, antara lain teh, kopi, dawet, susu, sere, dsb.

Uniknya, tempat makannya berupa piring kaleng atau piring seng. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, kami anak-anak memiliki piring seng untuk makan supaya tidak pecah sedangkan orang dewasa di rumah kami memakai piring beling. Simbahku dulu menyebut tempat makan adalah “ajang”.

Kami segera mengambil nasi, sayur, dan lauk. Minumnya sere hangat. Plus geblek hangat kesukaan suamiku. Masakannya enak plus suasana pedesaan dengan pemandangan indah menambah semangat kami untuk melahap makanan dan minuman yang tersaji.


Tinggalkan komentar

Perbincangan di Angkringan

Kegiatanku di hari Sabtu ini bersih-bersih dapur, kulkas, lanjut membersihkan kamar, dan kamar mandi. Suamiku juga tak kalah sibuk beberes termasuk menyapu lantai, halaman, dsb. Kami tinggal berdua saja di rumah dan mengerjakan semua juga berdua karena tidak ada ART. Sttt, dalam hal beberes rumah, suamiku lebih rajin daripada aku. 😁

Menjelang siang kami pergi jagong manten. Di antara rintik hujan kami menuju gedung resepsi yang terletak di Jogja barat. Kami tak lama di gedung karena masih prokes ketat. Kami tidak langsung pulang, melainkan lanjut menyusur Jalan Godean ke barat sampai di Jatiningsih Klepu, menjauh sejenak dari keramaian kota.

Cuaca agak dingin, terbayang wedang jahe yang hangat. Suamiku lalu mengajak mampir di sebuah angkringan yang bersih dan luas. Di angkringan itu sudah ada beberapa orang bapak yang sedang menikmati nasi kucing dengan nikmatnya. Penjualnya ramah dan asyik mengobrol dengan bapak-bapak itu. Segera kupesan dua gelas wedang jahe gula jawa. Kami menikmati wedang jahe dan tempe kemul yang masih “mongah-mongah” karena baru diangkat dari wajan. Suamiku juga melahap semangkuk soto ayam panas diselingi kriuk kriuk kerupuk kaleng. Kami berdua menikmati makanan dan minuman tanpa banyak bicara karena kami justru asyik mendengarkan pembicaraan bapak-bapak dan penjual di angkringan itu. Mereka adalah orang desa yang menjadi buruh tani.

Yang mereka perbincangkan adalah hal-hal biasa: tentang tetangga yang pasang tarub, tentang pekerjaan sebagai buruh tani, tentang hasil panen yang tak sesuai harapan, tentang padi gabug karena dimakan tikus, dan sebagainya. Sebagai buruh tani, salah seorang bapak itu bercerita bahwa dia harus urun beli pupuk 400 ribu, setelah panen gabahnya dijual hanya laku 100 ribu. Tiba-tiba kepalaku pening, tak sanggup berhitung, bagaimana mereka hidup bila sering merugi?

Selesai makan minum, aku membayar ke penjualnya. Kusebutkan semua yang kami makan. “Gangsalwelas ewu”, katanya. (15.000). “Tambah krupuk setunggal, Pak,” sambungku. “Nggih, gangsalwelas ewu mawon,” sahutnya lagi. Lhah, kerupuknya tidak dihitung alias sebagai bonus. Coba

kita hitung. Soto ayam 1 mangkuk, wedang jahe gula jawa 2 gelas, tempe kemul 3 ( besar-besar tempenya), plus kerupuk 1. Total 15 ribu, murah kan? Lagi-lagi pedagang kecil menunjukkan welas asih kepada pembelinya.

Dalam perjalanan pulang, aku dan suamiku berbincang tentang perbincangan di angkringan tadi. Ternyata suamiku menyimak dengan seksama. Kutanyakan kepada suamiku, bagaimana mereka hidup bila rugi melulu? (Cerita pahit tentang buruh tani yang kecil penghasilannya sering kudengar). Suamiku bilang, di desa mereka tetap bisa makan meskipun kecil penghasilan. Biasanya kalau di desa, para buruh tani tidak melulu buruh tani. Mereka biasa nyambi mengerjakan yang lain, mungkin menderes pohon kelapa. Kebanyakan mereka  punya kebun, ada

hasil kebun misalnya singkong atau punya ternak (ayam, bebek, kambing) atau memelihara ikan. Suamiku dulu hidup di desa, tentunya lebih paham dengan kehidupan petani.

Aku berpikir betapa kurang adil, petani (terutama buruh tani) sering merugi, sementara pedagang beras selalu untung. Di sisi lain, aku belajar banyak dari kehidupan petani. Mereka tekun, sabar, rajin, dan pekerja keras. Mereka terus merawat dan memupuk tanamannya meski tidak selalu hasil panennya bagus, bahkan kadang ada serangan hama atau bencana yang menghancurkannya. Semangat petani luar biasa, pantang menyerah di segala cuaca. Mereka tidak hanya memupuk tanaman, namun juga memupuk harapan.

Tiba-tiba suara suamiku mengoyak lamunanku. “Tadi kok angkringannya tidak difoto, buat cerita di facebook.” Oh iya, lupa. Aku tersenyum, rupa-rupanya suamiku juga suka membaca cerita-ceritaku di fb.

Hari ini aku berguru pada petani. Semoga Tuhan memberikan rezeki yang cukup untuk para petani dan semua orang yang merawat kehidupan.


Tinggalkan komentar

Ibuku Seorang Pemenang

Ibuku sudah 80 tahun, namun semangatnya tak kalah dengan anak muda. Bulan Juni-Juli 2021 sebulan lebih ibu terbaring di rumah sakit (2 minggu di ICU) karena covid-19. Saat itu setiap hari ibu kesakitan, perlu dibantu, namun kami tak bisa berbuat apa-apa karena ibu di ruang isolasi, sementara perawat yang ada di rumkit sangat terbatas. Kami anak-anaknya hanya bisa mengusahakan pengobatan yang terbaik. Beruntung, ada adik-adik yang menjadi dokter bahkan ada yang dinas di rumkit tempat ibu dirawat sehingga ada koordinasi yang cepat dan tepat dengan dokternya untuk menolong ibu, memilihkan obat yang terbaik. Doa pun mengalir tak hentinya buat kesembuhan ibu. Puji Tuhan Ibu bisa melewatinya sebagai pemenang melawan covid. Ibu bilang, ini adalah mukjizat. Tuhan sendirilah yang menyembuhkan ibu.

Setelah hampir 6 bulan lewat, ibu sudah sehat kembali. Meskipun demikian ibu merasa tidak sesehat dulu seperti sebelum kena covid. Memang benar adanya, masih ada sisa-sisa sakit yang mungkin akan pelan-pelan hilangnya.

Selama ibu di Yogya, setiap akhir pekan kami ajak jalan-jalan supaya senang dan terhibur. Biasanya ibu akan bersemangat dan menikmati perjalanan dengan senyum bahagia. Semoga ibuku sehat dan bahagia.


Tinggalkan komentar

Natalan di Sekolah

Setelah lama tidak berkegiatan keagamaan di sekolah karena pandemi, di awal tahun 2022 para siswa dan guru Kristen Katolik SMPN 1 Yogyakarta dapat merayakan Natal di sekolah pada tanggal 7 Januari yang lalu. Kegiatan ini sepenuhnya didukung oleh orang tua siswa. Sungguh menggembirakan dan mengharukan, para ortusis (kebanyakan ibu-ibu) dengan kompak bersemangat menyiapkan segala sesuatunya. Dari mengumpulkan dana, menyiapkan acara, menemani anak-anak latihan band, karawitan, juga mendekor, mencari Romo yang mengisi hikmah natal, dsb.dsb.

Keguyuban, kekompakan, dan semangat ortusis itu sebagai bentuk rasa gembira dan rasa syukur bahwa akhirnya mereka boleh menyelenggarakan perayaan natal di sekolah untuk anak-anaknya. Jauh-jauh hari mereka sudah minta izin tetapi kami tidak jua memberikan kepastian mengingat di bulan Desember situasi juga belum pasti. Ketika akhirnya kami mengabulkan keinginan mereka, alangkah gembiranya mereka. Namun kami tetap “wanti-wanti” untuk tetap patuhi prokes. Dan ternyata mereka mampu melaksanakannya dengan bagus.

Acara berlangsung dengan meriah meski sederhana. Donatur cukup banyak, kado natal melimpah. Ortu senang, anak-anak gembira, kami pun lega.

Terima kasih Romo, para donatur, para ortu, terima kasih Bu Emma Widyaningsih, Bu Anggororini Maria , dan semua pihak yang sudah membantu terselenggaranya acara ini. Berkah melimpah


Tinggalkan komentar

Menerima Pengurus Majelis Taklim

Pada hari Selasa, 18 Januari 2022, pengurus majelis taklim SMPN 1 Yogyakarta menemui Bu Kepsek. Mereka sudah lama tidak berkegiatan di masjid sekolah. Mereka sudah rindu berkegiatan seperti dulu sebelum pandemi. Waktu itu kegiatan mereka antara lain pengajian bersama para ortu siswa dan guru, berbagi takjil saat bulan puasa, baksos, dan doa bersama mensupport anak-anak yang mau ujian atau kenaikan kelas.

Mereka tadi menyampaikan program untuk tahun ini. Bagus programnya, sangat positif dan memang diperlukan untuk menguatkan anak-anak dan ortusis secara spiritual. Aku mendukung sepenuhnya sambil tetap “wanti-wanti” mereka untuk

selalu ketat dalam prokes. Bagaimana pun pandemi belum berakhir, harus tetap hati-hati untuk kebaikan semua.

Setelah selesai, ibu-ibu kuajak foto di Taman Satria Siaga.