Bilik Kata

Berbagi lewat bahasa, sastra, dan budaya

Perbincangan di Angkringan

Tinggalkan komentar

Kegiatanku di hari Sabtu ini bersih-bersih dapur, kulkas, lanjut membersihkan kamar, dan kamar mandi. Suamiku juga tak kalah sibuk beberes termasuk menyapu lantai, halaman, dsb. Kami tinggal berdua saja di rumah dan mengerjakan semua juga berdua karena tidak ada ART. Sttt, dalam hal beberes rumah, suamiku lebih rajin daripada aku. 😁

Menjelang siang kami pergi jagong manten. Di antara rintik hujan kami menuju gedung resepsi yang terletak di Jogja barat. Kami tak lama di gedung karena masih prokes ketat. Kami tidak langsung pulang, melainkan lanjut menyusur Jalan Godean ke barat sampai di Jatiningsih Klepu, menjauh sejenak dari keramaian kota.

Cuaca agak dingin, terbayang wedang jahe yang hangat. Suamiku lalu mengajak mampir di sebuah angkringan yang bersih dan luas. Di angkringan itu sudah ada beberapa orang bapak yang sedang menikmati nasi kucing dengan nikmatnya. Penjualnya ramah dan asyik mengobrol dengan bapak-bapak itu. Segera kupesan dua gelas wedang jahe gula jawa. Kami menikmati wedang jahe dan tempe kemul yang masih “mongah-mongah” karena baru diangkat dari wajan. Suamiku juga melahap semangkuk soto ayam panas diselingi kriuk kriuk kerupuk kaleng. Kami berdua menikmati makanan dan minuman tanpa banyak bicara karena kami justru asyik mendengarkan pembicaraan bapak-bapak dan penjual di angkringan itu. Mereka adalah orang desa yang menjadi buruh tani.

Yang mereka perbincangkan adalah hal-hal biasa: tentang tetangga yang pasang tarub, tentang pekerjaan sebagai buruh tani, tentang hasil panen yang tak sesuai harapan, tentang padi gabug karena dimakan tikus, dan sebagainya. Sebagai buruh tani, salah seorang bapak itu bercerita bahwa dia harus urun beli pupuk 400 ribu, setelah panen gabahnya dijual hanya laku 100 ribu. Tiba-tiba kepalaku pening, tak sanggup berhitung, bagaimana mereka hidup bila sering merugi?

Selesai makan minum, aku membayar ke penjualnya. Kusebutkan semua yang kami makan. “Gangsalwelas ewu”, katanya. (15.000). “Tambah krupuk setunggal, Pak,” sambungku. “Nggih, gangsalwelas ewu mawon,” sahutnya lagi. Lhah, kerupuknya tidak dihitung alias sebagai bonus. Coba

kita hitung. Soto ayam 1 mangkuk, wedang jahe gula jawa 2 gelas, tempe kemul 3 ( besar-besar tempenya), plus kerupuk 1. Total 15 ribu, murah kan? Lagi-lagi pedagang kecil menunjukkan welas asih kepada pembelinya.

Dalam perjalanan pulang, aku dan suamiku berbincang tentang perbincangan di angkringan tadi. Ternyata suamiku menyimak dengan seksama. Kutanyakan kepada suamiku, bagaimana mereka hidup bila rugi melulu? (Cerita pahit tentang buruh tani yang kecil penghasilannya sering kudengar). Suamiku bilang, di desa mereka tetap bisa makan meskipun kecil penghasilan. Biasanya kalau di desa, para buruh tani tidak melulu buruh tani. Mereka biasa nyambi mengerjakan yang lain, mungkin menderes pohon kelapa. Kebanyakan mereka  punya kebun, ada

hasil kebun misalnya singkong atau punya ternak (ayam, bebek, kambing) atau memelihara ikan. Suamiku dulu hidup di desa, tentunya lebih paham dengan kehidupan petani.

Aku berpikir betapa kurang adil, petani (terutama buruh tani) sering merugi, sementara pedagang beras selalu untung. Di sisi lain, aku belajar banyak dari kehidupan petani. Mereka tekun, sabar, rajin, dan pekerja keras. Mereka terus merawat dan memupuk tanamannya meski tidak selalu hasil panennya bagus, bahkan kadang ada serangan hama atau bencana yang menghancurkannya. Semangat petani luar biasa, pantang menyerah di segala cuaca. Mereka tidak hanya memupuk tanaman, namun juga memupuk harapan.

Tiba-tiba suara suamiku mengoyak lamunanku. “Tadi kok angkringannya tidak difoto, buat cerita di facebook.” Oh iya, lupa. Aku tersenyum, rupa-rupanya suamiku juga suka membaca cerita-ceritaku di fb.

Hari ini aku berguru pada petani. Semoga Tuhan memberikan rezeki yang cukup untuk para petani dan semua orang yang merawat kehidupan.

Penulis: niken65

Saya adalah seorang guru, pencinta bahasa, sastra, budaya, dan pendidikan

Tinggalkan komentar